QASHASH AL-QUR’AN
A.
Pengertian qashash al-qur’an
Imam Ar-Raghib al-ishfahani mengatakan
dalam kitab Mufradatnya (al-mufradat fi gharib Al-Qur’an – penj.)
tentang kata ini (qashash), “Al-qashashu” berarti ‘mengikuti jejak’.
Dikatakan qashashtu atsarahu ‘saya mengikuti jejaknya’.[1]
Al-qashash ialah berarti jejak (atsar).
Allah swt. berfirman:
#£s?ö$$sù
#n?tã
$yJÏdÍ$rO#uä
$TÁ|Ás%
ÇÏÍÈ
“.....Lalu
keduanya kembali, mengikuti jejak mereka semula.” (Al-Kahfi: 64).
Qashash adalah mashdar dari qashasha
yang berarti mencari bekasan atau mengikuti bekasan (jejak). Qashash bermakna:
urusan, berita, khabar dan keadaan. Qashash juga berarti berita-berita yang
berurutan.
Qashashil Qur’an ialah khabar-khabar
Al-Qur’an tentang keadaan-keadaan umat yang telah lalu dan kenabian masa dahulu, peristiwa-peristiwa terjadi.[2]
Al-Qur’an meliputi
keterangan-keterangan tentang peristiwa-peristiwa yang telah terjadi, sejarah
bangsa-bangsa, keadaan negeri-negeri serta menerangkan bekasan-bekasan dari
kaum-kaum purba itu.
B.
Perbedaan qashash al-qur’an dengan cerita-cerita yang dibuat
manusia
Secara mendasar, kisah-kisah al-Quran sangat berbeda dengan kisah-kisah
lainnya dari berbagai segi dan sisi. Akan tetapi, dapat dikatakan bahwa titik pembeda
paling urgen antara kedua jenis kisah itu adalah tujuan yang hendak digapainya. Pada
hakikatnya, tujuan itulah yang menjadi pembeda utama antara kedua jenis kisah itu.
Setiap
orang yang ingin menceritakan
atau menulis sebuah
cerita,
ia
pasti memiliki sebuah tujuan yang
ingin dicapainya. Sebagian orang sangat meminati seni
cerita karena unsur seninya belaka. Dengan kata lain, ia menekuni bidang seni ini
supaya bakat seninya bertambah maju dan berkembang pesat. Sebagian yang lain
menekuni bidang seni ini dengan tujuan hanya ingin mengisi kekosongan waktunya. Dan
kelompok ketiga menelusuri kehidupan seni hanya ingin mengetahui dan menukil
biografi dan sejarah generasi yang telah lalu.
Ringkasnya,
setiap
orang
menekuni seni cerita
ini
atas dasar
faktor dan dorongan tertentu, serta
ingin menggapai tujuan yang diinginkannya. Hal itu
dikarenakan seni cerita memiliki daya
tarik khusus yang tidak dimiliki oleh seni-seni Al-
Quran pun tidak luput dari kaidah di atas. Ia pun memiliki tujuan tertentu dalam kisah-kisah yang dipaparkannya. Yang pasti, tujuannya di balik pemaparan kisah-kisah itu tidak terlepas
dari tujuan universalnya. Yaitu,
hidayah dan
memberikan
petunjuk kepada umat manusia, mendidik mereka secara benar dalam setiap
sisi kehidupan, mengadakan reformasi sosial
secara
mendasar, dan—akhirnya—menciptakan individu
dan masyarakat yang saleh, berkepribadian Ilahi, dan beriman.
C.
Macam-macam qashash al-qur’an
Kisah-kisah dalam Al-Qur’an dapat di bagi 2, yaitu:
a. Dari segi waktu
1) Kisah hal gaib yang
terjadi pada masa lalu. Contohnya: Kisah tentang dialog malaikat dengan
Tuhannya mengenai penciptaan khalifah bumi sebagaimana di jelaskan dalam (Q.S.
Al-Baqarah: 30-34). Kisah tentang penciptaan alam semesta sebagaimana tersapat
dalam (Q.S. Al-Furqan: 59, Qaf: 38).
2) Kisah hal gaib yang
terjadi pada masa kini, contohnya: Kisah tentang turunnya malaikat-malaikat
pada malam Lailatul Qadar seperti di ungkapkan dalam surat Al-Qodar.
3) Kisah hal ghaib yang
akan terjadi pada masa yang akan datang, contohnya: Kisah tentang akan
datangnya hari kiamat seperti di jelaskan dalam Al-Qur’an Surat Al-Qari’ah,
Surat Az-Zalzalah dan lainnya. Kisah tentang Abu Lahab kelak di akhirat seperti
di ungkapkan dalam Al-Qur’an Surat Al-Lahab.
b. Dari Segi Materi
1) Kisah-kisah para Nabi,
seperti: Kisah Nabi Muhammad, Kisah Nabi Adam, Kisah Nabi Nuh, Kisah Nabi Luth,
Kisah Nabi Musa, Kisah Nabi Sulaiman, Kisah Nabi Ibrahim, Kisah Nabi Ismail,
Kisah Nabi Yusuf
2) Kisah tentang
peristiwa-peristiwa yang telah terjadi di masa lampau ang tidak dapat di
pastikan kenabiannya. Contohnya: Kisah tentang Luqman, Kisah tentang Ashabul
kahfi, Kisah tentang Maryam.
3) Kisah yang berpautan
dengan peristiwa-peristiwa yang terjadi di masa Rasulullah saw.[3] Contohnya: Kisah tentang Ababil, Kisah tentang Hijrahnya Nabi saw, Kisah
tentang perang Badar dan Uhud yang di uraikan dalam Qur’an surat Ali Imran, Kisah tentang perang Hunain dan At-Tabuk dan lain sebagainya.
D.
Fungsi dan urgensi dalam qashash al-qur’an
Adapun tujuan dari qashash Al-Qur’an,
yaitu:[4]
1.
Meringankan beban jiwa atau tekanan jiwa para Nabi dan orang-orang
beriman.
2.
Menguatkan keimanan dan keyakinan juwa terhadap akidah islam dan
mengobarkan semangat berkorban baik jiwa maupun raga di jalan Allah SWT.
artinya, kisah juga dimaksudkan untuk membentuk sebuah jiwa yang militan.
3.
Menumbuhkan kepercayaan diri dan ketentraman atau menghilangkan
ketakutan dan kegelisahan.
4.
Membuktikan kerasulan Muhammad saw dan wahyu yang diturunkan Allah
kepadanya.
Adapun faedah-faedah dari qashash Al-Qur’an, yaitu:[5]
a.
Menjelaskan dasar-dasar dakwah agama Allah dan menerangkan pokok-pokok
syariat yang disampaikan oleh para Nabi.
b.
Mengokohkan hati Rasul dan hati umat Muhammad dalam beragama dengan
agama Allah dan menguatkan kepercayaan para mukmin tentang datangnya
pertolongan Allah dan hancurnya kebatilan.
c.
Mengabadikan usaha-usaha para Nabi-nabi dan pernyataan bahwa
Nabi-nabi dahulu adalah benar.
d.
Memperlihatkan kebenaran Nabi Muhammad saw. dalam dakwahnya dengan
dapat menerangkan keadaan-keadaan umat yang telah lalu.
e.
Menyingkap kebohongan ahlul kitab yang telah menyembunyikan isi
kitab mereka yang masih murni.
f.
Menarik perhatian mereka yang diberikan pelajaran.
E.
Pengulangan qashash al-qur’an dan hikmahnya
Al-Qur’an banyak mengandung kisah yang pengungkapannya
diulang-ulang di beberapa tempat. Berikut ini dikemukakan contoh pengulangan
itu:
1. Kisah Iblis tidak mau
tunduk kepada Adam: surat Al-Baqarah (2) ayat 34, surat Al-A’raf (7) ayat 11:,
surat Al-Kahfi (18) ayat 50, surat Thaha (20) ayat 116, surat Shad (38) ayat
74.
2. Kisah kaum Nabi Luth
yang melakukan perbuatan homoseks: surat Al-A’raf (7) ayat 80, 81: surat Hud
(11) ayat 78: surat An-Naml (27) ayat 54-55: surat Al-Ankabut (29) ayat 29.
3. Kisah istri Nabi Luth
yang dibinasakan: surat Al-A’raf (7) ayat 83; surat Hud (11) ayat 81; surat
Al-Hijr (15) ayat 60; surat Asy-Syura (26) ayat 171; surat An-Naml (27) : 57.
Adapun hikmah
pengulangan qashash Al-Qur’an, yaitu:[6]
a.
Menandaskan kebalaghahan Al-Qur’an dalam bentuk yang paling tinggi.
Diantara keistimewaan balaghah ialah menerangkan sebuah makna dalam berbagai
macam susunan. Dan tiap-tiap tempat disebut dengan susunan kalimat yang berbeda
dari yang telah disebutkan. Dengan demikian selalu terasa nikmat kita mendengar
dan kita membacanya.
b.
Menampakkan kekuatan i’jaz. Menyebut suatu makna dalam berbagai
bentuk susunan perkataan yang tidak dapat ditantang salah satunya oleh
sastrawan-sastrawan arab, menjelaskan bahwasanya Al-Qur’an itu benar-benar dari
Allah.
c.
Memberikan perhatian penuh kepada kisah itu. Mengulang-ulangi kisah
adalah salah suatu cara ta’kid dan salah satu dari tanda-tanda besarnya
perhatian, seperti keadaannya kisah Musa dan Fir’aun.
d.
Karena berbeda tujuan yang karenanyalah disebut kisah itu. Disuatu
tempat diterangkan sebagiannya, karena itu saja yang diperlukan dan di
tempat-tempat yang lain disebut lebih sempurna karena yang demikianlah yang
dikehendaki keadaan.
Manna Al-Qaththan menjelaskan hikmah pengulangan kisah-kisah
Al-Qur’an sebagai berikut:
ü Menjelaskan ketinggian
kualitas Al-Qur’an.
ü Memberikan perhatian
yang besar terhadap kisah untuk menguatkan kesan dalam jiwa.
ü Menunjukkan kehebatan
mukjizat Al-Qur’an.
ü Memperlihatkan adanya
perbedaan tujuan diungkapkannya kisah tersebut.
F.
Kisah dalam al-qur’an itu, kisah nyata atau khayalan
Diantara karakter kisah Al-Qur’an,
yaitu:
1.
Ia merupakan kisah yang benar (al-qashash al-haq)
Kisah Al-Qur’an tentang orang-orang
dahulu adalah suatu kisah yang benar dan periwayatannya mengenai
peristiwa-peristiwa itu adalah jujur dan betul. Ini karena Allah lah yang
menceritakan kisah itu dan Allah benar-benar menyaksikan peristiwa-peristiwa
itu, dan ia telah menakdirkannya. Peristiwa-peristiwa itu terjadi menurut
pengetahuan, kehendak, dan takdir-Nya.
Dalam surat Ali Imran, setelah
disebutkan beberapa ayat yang membantah orang-orang nasrani tentang perihal
kemanusiaan Isa bin Maryam as. dan menyanggah anggapan mereka seputar
penisbatannya kepada Allah SWT (sebagai anak-Nya), dan mengisahkan kepada
mereka peristiwa ibunda Maryam r.a. yang mengandung Isa, kemudian
melahirkannya, kemudian disebutkan satu ayat yang menyifati kisah ini sebagai
kisah yang benar, yang tidak ada padanya kesalahan, kebohongan, maupun
kebatilan. Allah SWT berfirman:
¨bÎ)
#x»yd
uqßgs9
ßÈ|Ás)ø9$#
,ysø9$#
4 $tBur
ô`ÏB
>m»s9Î)
wÎ)
ª!$#
4 ......
“Sesungguhnya ini adalah kisah yang benar, dan
tak ada Tuhan (yang berhak disembah) selain Allah........” (Ali Imran: 62).
2.
Ia merupakan kisah terbaik
Dalam surat Yusuf, Allah Ta’ala
memberi karakter terhadap kisah Al-Qur’an sebagai suatu kisah terbaik.[7]
Allah SWT berfirman:
ß`øtwU
Èà)tR
y7øn=tã
z`|¡ômr&
ÄÈ|Ás)ø9$#
!$yJÎ/
!$uZøym÷rr&
y7øs9Î)
#x»yd
tb#uäöà)ø9$#
bÎ)ur
|MYà2
`ÏB
¾Ï&Î#ö7s%
z`ÏJs9
úüÎ=Ïÿ»tóø9$#
ÇÌÈ
“Kami menceritakan kepadamu kisah yang paling
baik dengan mewahyukan Al-Qur’an ini kepadamu, da sesungguhnya kamu sebelum
(Kami mewahyukan) nya adalah termasuk orang-orang yang belum mengetahui.
(Yusuf: 3).
Surat Yusuf secara khusus
menceritakan kisah Nabi Yusuf a.s. surat
ini menyediakan 100 ayat sendiri dari 111 ayat keseluruhan nya, dan ayat-ayat
terakhirnya ialah komentar terhadap kisah Yusuf. Surat ini memaparkan kisah
Yusuf a.s. semenjak ia bermimpi ketika masih berusia anak-anak sampai
terealisasi mimpinya dan tafsir mimpinya menjadi kenyataan.
Kisah Yusuf merupakan kisah terbaik
dan setiap kisah Al-Qur’an adalah baik karena ia memberikan kabar gembira dan
optimisme (harapan) bagi orang-orang yang tertimpa bencana, musibah dan ujian,
serta bagi orang-orang yang menderita kepedihan intimidasi dan cobaan, yaitu
bahwa jalan keluar pasti akan datang, harapan pasti akan tiba, dan ujian akan
hilang. Yang penting, dia beriman dan bertawakal kepada Allah dengan baik serta
tetap teguh di jalan-Nya, sebagaimana yang dicapai oleh Yusuf a.s.
[1] Dr. Shalah Al-khalidy, Kisah-kisah Al-Qur’an_Pelajaran Dari
Orang-orang Dahulu, (Jakarta: Gema Insani Press, 1999), 21.
[2] Teungku Muhammad Hasbi Ash Shiddieqy, Ilmu-Ilmu Al-Qur’an_Ilmu-ilmu
Pokok Dalam Menafsirkan Al-Qur’an, (Semarang: Pustaka Rizki Putra, 2002), 191.
[3] Ibid. Hlm. 192.
[4] Muhammad A. Khalafullah, Al-Qur’an Bukan Kitab Sejarah; seni,
sastra dan moralitas dalam kisah-kisah Al-Qur’an, (Jakarta: Paramadina, 2002),
162-174.
[5]Teungku Muhammad Hasbi Ash Shiddieqy. Op.Cit. Hlm.192.
[6] Ibid. Hlm.193
[7] Dr. Shalah Al-Khalidy, Op.Cit. Hlm.24
Tidak ada komentar:
Posting Komentar