Rabu, 24 Juni 2015

ILMU QAWAID TAFSIR



ILMU QAWAID TAFSIR
A.   Qowa’id Tafsir
1.     Pengertian Qowaid Tafsir
            Menurut bahasa qawaid artinya kaidah-kaidah atau prinsip-prinsip dasar tafsir. Sedangkan yang dimaksud qawaid afsir dalam hal ini adalah kaidah-kaidah yang diperlukan oleh para mufasir dalam memahami ayat-ayat Al-Qur’an.
            Adapun kata kaidah dalam bahasa arab sendiri adalah qo’idah. Secara harfiah, qo’idah atau kaidah berarti dasar, asas, panduan, prinsip, peraturan, model, contoh dan cara.
            Qa’idah dalam istilah para tafsir ialah hukum (aturan) yang bersifat menyeluruh atau umum (kulli) yang dengan aturan-aturan yang umum itu bisa dikenali (dideteksi) hokum-hukum yang particular (juz’i). jadi, kaidah tafsir (qo’idah tafsir), menurut fornulasi Khalid Usman al-Sabt adalah rangkaian aturan yang bersifat umum (global) yang mengantarkan (menuntun) seseorang (mufasir) untuk mengistimbathkan (menggali) makna-makna Al-Qur’an dan mengenali cara memperoleh atau menghasilkan pemahamannya.
            Mengacu pada definisi yang dikemukakan al-sabt diatas dapat dipahami bahwa qo’idah at-tafsir ialah tata aturan yang mengatur tentang cara dan mekanisme penafsiran Al-Qur’an yang harus dipedomani oleh seorang mufassir dalam rangka menghasilkan penafsiran Al-Qur’an yang tepat, benar dan baik.[1] 

2.     Keterkaitannya Dengan Qowa’id Bahasa Dan Ushul Fiqh
a. Korelasi Kaidah Tafsir Dengan Bahasa Arab
            Al-Qur’an diturunkan menggunakan bahasa arab. Hal tersebut jelas menunjukkan bahwa keterkaitan antara kaidah tafsir dengan bahasa arab sangatlah erat. Kaidah tafsir melalui bahasa arab bertujuan untuk memahami makna yang terkandung di dalam al-Qur’an sehingga secara kebahasaan dapat di mengerti. Hal ini yang nanti akan berpengaruh pada setiap arti kosakata pada kesatuan ayat. Misalnya tentang fungsi-fungsi huruf wawu dan perbedaannya dengan tsumma dan fa’. Demikian juga makna yang dikandung oleh setiap kata atau bentuk kata seperti kala kini/mendatang (mudhari’), kala lalu (madhy), atau perbedaan kandungan makna antara kalimat yang berbentuk verbal sentence maupun nominal sentence.[2]
Contoh ayat Al-Qur’an yang berkaitan dengan kaidah tafsir dengan Bahasa Arab, sebagai berikut:
tPöqtƒ (#qããôtR ¨@à2 ¤¨$tRé& ÷LÏiÏJ»tBÎ*Î/ ( ô`yJsù uÎAré& ¼çmt7»tFÅ2 ¾ÏmÏYŠÏJuÎ/ šÍ´¯»s9'ré'sù tbrâätø)tƒ óOßgt7»tGÅ2 Ÿwur tbqßJn=ôàムWxÏFsù ÇÐÊÈ  
Artinya: “(Ingatlah) suatu hari (yang di hari itu) kami panggil tiap umat dengan imamnya, dan barangsiapa yang diberikan Kitab amalannya di tangan kanannya Maka mereka Ini akan membaca kitabnya itu, dan mereka tidak dianiaya sedikitpun”.(QS.Al-Isra’:71)
Penjelasan:
Kata imam dalam ayat tersebut dipahami sebagai bentuk jamak dari kata umm yang berarti ibu. Pelajaran yang ditarik dari ayat tersebut, pada hari kiamat orang akan dipanggil disertai dengan nama ibu. Pemanggilan dengan nama ibu, bukan nama ayah ini untuk menjaga perasaan Nabi Isa. Ada beberapa ulama juga yang menjelaskan Kata imamah di dalam ayat ini dipahami sebagai “pemimpin”, bukan sebagai umm/ibu. Walaupun jika dipahami lebih dalam, bentuknya adalah plural. Jadi, pada hari akhir nanti orang-orang akan dipanggil besertakan pemimpinnya, bukan ibunya.
b.     Korelasi qawaid tafsir dengan ushul Fiqih
Diantara kaidah tafsir yang berkaitan dengan ushul fiqih adalah sebagai berikut:
1)     Sebagai patokan memahami ayat adalah berdasarkan redaksinya yang bersifat umum bukan khusus terhadap kasus-kasus yang menjadi sebab turunnya ayat. Asbabun nuzul dipandang sebagai salah satu alat bantu berupa contoh menjelaskan makna redaksi-redaksi ayat-ayat Al-Qur’an
2)     Sesuatu yang mudah dilarang jika menimmbulkan yang haram atau mengabaikan yang wajib
3)     Perintah atas sesuatu berarti larangan atas kebalikannya, dan larangan atas sesuatu berati perintah atas kebalikannya.[3]
Ada beberapa kaidah tafsir yang berkaitan langsung dengan kaidah ushulul fiqih,yaitu:
a)     Sesuatu yang mubah dilarang jika menimbulkan yang haram atau mengabaikan yang wajib. Maksudnya adalah jika ada suatu tindakan yang semula mubah(boleh) akan menjadi haram(dilarang) jika menimbulkan sesuatu yang haram atau mengakibatkan hal-hal yang wajib terabaikan.Contohnya sebagai berikut:
“Hai orang-orang beriman, apabila diseru untuk menunaikan shalat Jum’at, Maka bersegeralah kamu kepada mengingat Allah dan tinggalkanlah jual beli. yang demikian itu lebih baik bagimu jika kamu Mengetahui.”(QS.Al-Jumu’ah:9)
Melakukan jual-beli pada dasarnya dibolehkan,tetapi jika perbuatan tersebut dikhawatirkan menimbulkan pengabaian yang wajib seperti jual-beli ketika adzan jum’at,maka perbuatan tersebut menjadi dilarang sebagaimana disebutkan dalam terjemah ayat diatas.
b). Memerintahkan sesuatu berarti melarang kebalikannya, menegaskan sesuatu berarti melarang kebalikannya.[4]
Ayat-ayat Al Quran yang berisi perintah melakukan sesuatu perbuatan, berarti ayat tersebut sekaligus melarang sesuatu yang sebaliknya. Jika suatu ayat mengandung larangan terhadap suatu perbuatan, berarti ayat tersebut pun memerintahkan melakukan hal yang sebaliknya. Seperti dalam ayat Al-Qur’an berikut:
“Dan bersabarlah terhadap apa yang mereka ucapkan dan jauhilah mereka dengan cara yang baik”.(QS.Al-Muzammil:10).
Ayat diatas menunjukkan makna adanya perintah untuk bersabar dan menjauhi orang-orang yang mendustakan kebenaran dengan cara yang baik. Ini berarti melarang orang beriman untuk melakukan tindakan yang mencerminkan ketidaksabaran.
c).      Mendahulukan yang paling bermanfaat dan paling kecil mudharatnya. Ayat-ayat dalam Al-Qur’an beberapa mengandung pengarahan(irsyad) dalam menghadapi berbagai masalah.[5]
Ini berarti, kita sebagai umat islam harus mengutamakan aspek kemaslahatan,dan yang paling kecil kerugiannya(mudharat). Sebagaimana dalam ayat sebagai berikut:
“Mereka bertanya kepadamu tentang khamar dan judi,maka katakanlah:”Pada keduanya terdapat dosa yang besar dan beberapa manfaat bagi manusia,tetapi dosa keduanya lebih besar dari manfaatnya”. Dan mereka bertanya kepadamu apa yang mereka nafkahkan. Maka katakanlah,”Yang lebih dari keperluan”.Demikianlah Allah SWT menerangkan ayat-ayat-Nya kepadamu supaya kamu berfikir.(QS.Al-Baqarah:129)
Ayat diatas menegaskan khamar (minuman keras) dan judi mengandung kegunaan bagi manusia tertentu, tetapi bahaya yang ditimbulkannya lebih besar dibanding dengan manfaat yang dihasilkannya. Maka dari itu minuman keras dan judi dilrang di dalam Islam.
3.     Fungsi Dan Urgensi Qowa’id Tafsir Dalam Menafsirkan Qur’an
            Untuk menekuni bidang tafsir, seseorang memerlukan beberapa ilmu bantu, diantaranya kaidah-kaidah tafsir. Kaidah ini sangat membantu para mufassir  dalam memahami ayat-ayat Al-Qur’an. Alat bantu lainnya adalah pengetahuan bahasa Arab, karena Al-Qur’an diturunkan menggunakan bahasa tersebut. Selain itu perlu memahami ilmu ushul fiqh. Dengan ilmu ini, seorang mufassir akan memperoleh kemudahan dalam menangkap pesan-pesan Al-Qur’an.
            Untuk menghindari penyimpangan atau kesalahan penafsiran, para ahli membuat kaidah-kaidah penafsiran. Kaidah penafsiran yang dimaksud diantara lain adalah: kaidah tafsir, kaidah isim dan fi’il, kaidah amr dan nahi, kaidah istifham, kaidah ma’rifah dan nakiroh, kaidah mufrad dan jama’, kaidah tanya-jawab, kaidah wujuh wan nazhair, dan lain sebagainya.                                         
B.   Kaidah Dasar Tafsir
1.     Pengertian Al-Qur’an
            Ditinjau dari segi kebahasaan, Al-Qur’an berasal dari bahasa Arab yang berarti "bacaan" atau "sesuatu yang dibaca berulang-ulang". Kata Al-Qur’an adalah bentuk kata benda (masdar) dari kata kerja qara'a yang artinya membaca. Konsep pemakaian kata ini dapat juga dijumpai pada salah satu surat Al-Qur'an sendiri yakni pada ayat 17 dan 18 Surah Al-Qiyamah yang artinya:
“Sesungguhnya mengumpulkan Al-Qur’an (di dalam dadamu) dan (menetapkan) bacaannya (pada lidahmu) itu adalah tanggungan Kami. (Karena itu,) jika Kami telah membacakannya, hendaklah kamu ikuti {amalkan} bacaannya”.(75:17-75:18)
            Dr. Subhi Al Salih mendefinisikan Al-Qur'an sebagai berikut:
“Kalam Allah SWT yang merupakan mukjizat yang diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW dan ditulis di mushaf serta diriwayatkan dengan mutawatir, membacanya termasuk ibadah”.

Adapun Muhammad Ali ash-Shabuni mendefinisikan Al-Qur'an sebagai berikut: "Al-Qur'an adalah firman Allah yang tiada tandingannya, diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW penutup para Nabi dan Rasul, dengan perantaraan Malaikat Jibril a.s. dan ditulis pada mushaf-mushaf yang kemudian disampaikan kepada kita secara mutawatir, serta membaca dan mempelajarinya merupakan ibadah, yang dimulai dengan surat Al-Fatihah dan ditutup dengan surat An-Nas"

2.     Tafsir Al-Qur’an Dengan Al-Qur’an
          Sebagian dari ayat-ayat Al-Qur’an memberikan penafsiran terhadap ayat lainnya. Ayat Al-Qur’an yang dijelaskan secara umum di suatu tempat dijelaskan di tempat lain secara terperinci. Bagian yang belum dijelaskan di suatu tempat (mubham) dijelaskan di tempat lain. Ayat yang tidak terbatas pesan dan pengertiannya (muthlaq) di suatu surat menjadi terikat di surat lainnya (muqayyad). Ayat yang bersifat ‘amm (umum) di suatu konteks ditakhshishkan dalam konteks lainnya.

3.     Contohnya Masing-Masing
            Beberapa contoh ayat Al-Qur’an yang dipandang menafsirkan ayat lainnya adalah surat Al-Maidah (5) ayat 1 ditafsirkan oleh surat Al-Maidah ayat 3.
$ygƒr'¯»tƒ šúïÏ%©!$# (#þqãYtB#uä (#qèù÷rr& ÏŠqà)ãèø9$$Î/ 4 ôM¯=Ïmé& Nä3s9 èpyJŠÍku5 ÉO»yè÷RF{$# žwÎ) $tB 4n=÷FムöNä3øn=tæ uŽöxî Ìj?ÏtèC ÏøŠ¢Á9$# öNçFRr&ur îPããm 3 ¨bÎ) ©!$# ãNä3øts $tB ߃̍ムÇÊÈ  
“Hai orang-orang yang beriman! Penuhilah janji. Binatang ternak dihalalkan bagimu, kecuali yang akan disebutkan kepadamu dengan tidak menghalalkan berburu sementara kamu dalam hurum (dalam suasana ibadah haji atau ihram). Perintah Allah sesuai dengan kehendak-Nya.” (Al-Maidah:1)
ôMtBÌhãm ãNä3øn=tæ èptGøŠyJø9$# ãP¤$!$#ur ãNøtm:ur ͍ƒÌYσø:$# !$tBur ¨@Ïdé& ÎŽötóÏ9 «!$# ¾ÏmÎ/ èps)ÏZy÷ZßJø9$#ur äosŒqè%öqyJø9$#ur èptƒÏjŠuŽtIßJø9$#ur èpysÏܨZ9$#ur !$tBur Ÿ@x.r& ßìç7¡¡9$# žwÎ) $tB ÷LäêøŠ©.sŒ $tBur yxÎ/èŒ n?tã É=ÝÁZ9$# br&ur (#qßJÅ¡ø)tFó¡s? ÉO»s9øF{$$Î/ 4 öNä3Ï9ºsŒ î,ó¡Ïù 3
“Diharamkan bagimu bangkai, darah, daging babi, dan segala yang disembelih tidak nama Allah, yang mati dicekik, atau dipukul, atau jatuh, atau diterkam binatng buas, kecuali yang sempat kamu sembelih, dan yang disembelih diatasbatu (mezbah) atau dengan mermalkan nasib dengan anak panah. Karena semua itu perbuatan fasik.” (Al-Maidah:3)
Iwr& žcÎ) uä!$uŠÏ9÷rr& «!$# Ÿw êöqyz óOÎgøŠn=tæ Ÿwur öNèd šcqçRtøts ÇÏËÈ
”Ingatlah, sesungguhnya wali-wali Allah itu, tidak ada kekhawatiran terhadap mereka dan tidak (pula) mereka bersedih hati.” (Yunus: 62)
 Sungguh kata أَوْلِيَآءُ اللّهِ (wali-wali Allah) telah ditafsirkan oleh firman Allah di ayat berikutnya,
الّذِينَ آمَنُواْ وَكَانُواْ يَتّقُونَ
”(Yaitu) orang-orang yang beriman dan mereka selalu bertaqwa.” (Yunus: 63)

Firman Allah swt:
!$tBur y71u÷Šr& $tB ä-Í$©Ü9$# ÇËÈ  
”Tahukah kamu apakah yang datang pada malam hari itu?” (Ath Thariq: 2).

Sungguh “Ath-Thariq” ditafsirkan dengan firman Allah subhanahu wata’ala pada ayat yang kedua (demikian yang tertulis di dalam kitab, mungkin yang diinginkan adalah ayat ketiga, wallahu a’lam –pent.),
ãNôf¨Y9$# Ü=Ï%$¨W9$# ÇÌÈ  
”(Yaitu) bintang yang cahayanya menembus.” (Ath Thariq: 3)
Firman Allah swt
وَالأرْضَ بَعْدَ ذَلِكَ دَحَاهَا
”Dan bumi sesudah itu dihamparkan-Nya.” (An Naazi’aat: 30)
Kata دَحَاهَا ditafsirkan dengan dua ayat setelahnya,

ylt÷zr& $pk÷]ÏB $yduä!$tB $yg8tãötBur ÇÌÊÈ   tA$t7Ågø:$#ur $yg9yör& ÇÌËÈ  
”Ia memancarkan darinya mata airnya, dan (menumbuhkan) tumbuh-tumbuhan. Dan gunung-gunung dipancangkan-Nya dengan teguh.” (An Naazi’aat: 31-32)



[1] Ahmad Izzan, Metodologi Ilmu Tafsir, (Bandung: Tafakur, 2009), cet. Kedua, hal.120.
[2] M. Quraish shihab, Membumikan Al-Qur’an Jilid 2, (Jakarta : Lentera Hati, 2011), hlm. 642
[3] M. Quraish shihab, Membumikan al-qur’an (Bandung : Mizan, 1999), hlm. 642-644
[4] Muhammad Chirzin, Al Quran dan Ulumul Quran (Yogyakarta: Dana Bhakti Prima Yasa, 1998),  hlm.145
[5] Abd.Rahman Dahlan, Kaidah-kaidah Penafsiran Al-Qur’an, hlm.117